Author : UnknownTidak ada komentar
tampaknya menjadi pertaruhan hidup mati rezim Jokowi Widodo. Jakarta sepertinya menjadi kunci akhir kelangsungan berkuasanya rezim. Tidak dapat dinafikan bagaimana posisi dan sikap rezim berkuasa dalam Pilkada Jakarta saat ini adalah memang terindikasi berpihak kepada salah satu pasangan calon, yaitu pasangan petahana.
Pilkada Jakarta saat ini patut diduga akan berlangsung curang karena dicurangi. Pasangan Ahok-Djarot yang terlihat memang sudah tidak disukai oleh publik Jakarta dan akan kalah dalam pilkada, memaksa oknum penguasa untuk melakukan segala hal agar situasi membalikkan.
Dukungan penguasa itu memang bukan sikap resmi pemerintah, tetapi sikap oknum-oknum yang kebetulan sedang berkuasa. Mereka akan menggunakan kekuasaan di tangannya untuk memenangkan si calon sekalipun harus dengan cara-cara mengkhianati demokrasi serta memanipulasi suara rakyat.
Memasuki fase kritis manakala pasangan nomor satu Agus-Silvi terus memimpin memenangkan hati rakyat. Lembaga-lembaga survai secara mutlak menempatkan Agus-Silvi pada urutan pertama yang akan memenangkan pilkada. Namun, muncullah lembaga- lembaga survai yang secara berani merilis hasil survai yang berbeda dengan mayoritas lembaga survai lain yang kredibilitasnya lebih teruji.
Ini aneh dan janggal, tanpa ada sesuatu yang signifikan merubah opini publik, tapi hasil survai bisa berbeda.
Munculnya sedikit lembaga survai yang merilis hasil survainya dan menempatkan Ahok-Djarot sebagai pemenang pilkada, patut dicurigai sebagai bagian dari upaya untuk membangun opini di tengah publik, dan kemudian menjadi justifikasi pembenaran bila kelak suara rakyat dimanipulasi memenangkan yang kalah.
Memenangkan yang kalah, misalkan, pasangan Ahok-Djarot ketika ternyata kalah secara faktual di lapangan kemudian dengan kecurangan berbalik menjadi pemenang. Dan bermodal hasil survai yang kredibilitasnya diragukan itu, pelaku kecurangan akan terus bertahan dengan kebohongan dan menggunakan hasil survai tersebut sebagai pembenaran.
Ini adalah kejahatan demokrasi yang luar biasa bila terjadi. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, maka bila penguasa memanipulasi suara rakyat maka sama saja penguasa memanipulasi suara Tuhan.
Nampaknya memang upaya kecurangan itu mulai dibangun dengan seksama. Kemarin dan hingga hari ini beredar di WAG group sebuah capture pembicaraan WA seorang pemilik lembaga survai yang entah benar atau tidak, percakapan itu bahkan menyebut nama seorang pejabat penguasa di dalamnya.
Percakapan WA itu jelas menunjukkan adanya upaya rekayasa hasil survai pilkada bahkan memaksa supaya dukungan terhadap pasangan calon nomor urut dua dibuat hingga 40% lebih. Sekali lagi, apakah percakapan itu benar atau tidak, kita tidak tahu. Terlepas benar atau tidak, caputure komunikasi WA itu sangat patut dijadikan bukti bahwa memang saat ini Jakarta sedang berada dalam rekayasa opini menuju kecurangan.
Mengapa mereka perlu curang? Karena memang mereka para pelaku itu sudah menyadari bahwa pasangan calon yang didukungnya sudah kalah.
Saya mengingatkan kepada rezim berkuasa, pertama, agar berhenti melakukan segala upaya yang merusak demokrasi dan memanipulasi suara rakyat. Berhenti menggunakan kekuasaan untuk menantang membalikkan Suara Tuhan karena Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.
Jangan terinspirasi Ahok dalam pernyataannya di sebuah acara stasiun televisi yang akan melawan Tuhan kalau Tuhan salah, padahal Tuhan tidak pernah salah.
Kedua, kami juga mengingatkan kepada publik Jakarta agar mewaspadai segala bentuk pola kecurangan di lapangan. Jangan sampai keinginan rakyat Jakarta untuk mendapatkan gubernur baru dimanipulasi karena kecurangan.
Sebaliknya, publik ibukota harus melawan segala bentuk kecurangan demi tegaknya nilai demokrasi.[***]
Ferdinand Hutahaean
Aktivis Rumah Amanah Rakyat
Dukungan penguasa itu memang bukan sikap resmi pemerintah, tetapi sikap oknum-oknum yang kebetulan sedang berkuasa. Mereka akan menggunakan kekuasaan di tangannya untuk memenangkan si calon sekalipun harus dengan cara-cara mengkhianati demokrasi serta memanipulasi suara rakyat.
Memasuki fase kritis manakala pasangan nomor satu Agus-Silvi terus memimpin memenangkan hati rakyat. Lembaga-lembaga survai secara mutlak menempatkan Agus-Silvi pada urutan pertama yang akan memenangkan pilkada. Namun, muncullah lembaga- lembaga survai yang secara berani merilis hasil survai yang berbeda dengan mayoritas lembaga survai lain yang kredibilitasnya lebih teruji.
Ini aneh dan janggal, tanpa ada sesuatu yang signifikan merubah opini publik, tapi hasil survai bisa berbeda.
Munculnya sedikit lembaga survai yang merilis hasil survainya dan menempatkan Ahok-Djarot sebagai pemenang pilkada, patut dicurigai sebagai bagian dari upaya untuk membangun opini di tengah publik, dan kemudian menjadi justifikasi pembenaran bila kelak suara rakyat dimanipulasi memenangkan yang kalah.
Memenangkan yang kalah, misalkan, pasangan Ahok-Djarot ketika ternyata kalah secara faktual di lapangan kemudian dengan kecurangan berbalik menjadi pemenang. Dan bermodal hasil survai yang kredibilitasnya diragukan itu, pelaku kecurangan akan terus bertahan dengan kebohongan dan menggunakan hasil survai tersebut sebagai pembenaran.
Ini adalah kejahatan demokrasi yang luar biasa bila terjadi. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, maka bila penguasa memanipulasi suara rakyat maka sama saja penguasa memanipulasi suara Tuhan.
Nampaknya memang upaya kecurangan itu mulai dibangun dengan seksama. Kemarin dan hingga hari ini beredar di WAG group sebuah capture pembicaraan WA seorang pemilik lembaga survai yang entah benar atau tidak, percakapan itu bahkan menyebut nama seorang pejabat penguasa di dalamnya.
Percakapan WA itu jelas menunjukkan adanya upaya rekayasa hasil survai pilkada bahkan memaksa supaya dukungan terhadap pasangan calon nomor urut dua dibuat hingga 40% lebih. Sekali lagi, apakah percakapan itu benar atau tidak, kita tidak tahu. Terlepas benar atau tidak, caputure komunikasi WA itu sangat patut dijadikan bukti bahwa memang saat ini Jakarta sedang berada dalam rekayasa opini menuju kecurangan.
Mengapa mereka perlu curang? Karena memang mereka para pelaku itu sudah menyadari bahwa pasangan calon yang didukungnya sudah kalah.
Saya mengingatkan kepada rezim berkuasa, pertama, agar berhenti melakukan segala upaya yang merusak demokrasi dan memanipulasi suara rakyat. Berhenti menggunakan kekuasaan untuk menantang membalikkan Suara Tuhan karena Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.
Jangan terinspirasi Ahok dalam pernyataannya di sebuah acara stasiun televisi yang akan melawan Tuhan kalau Tuhan salah, padahal Tuhan tidak pernah salah.
Kedua, kami juga mengingatkan kepada publik Jakarta agar mewaspadai segala bentuk pola kecurangan di lapangan. Jangan sampai keinginan rakyat Jakarta untuk mendapatkan gubernur baru dimanipulasi karena kecurangan.
Sebaliknya, publik ibukota harus melawan segala bentuk kecurangan demi tegaknya nilai demokrasi.[***]
Ferdinand Hutahaean
Aktivis Rumah Amanah Rakyat
sumber : rmol
Artikel Terkait
Posted On : Rabu, 25 Januari 2017Time : 23.20